Wednesday, June 24, 2015

Berkunjung Ke Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta)


Pada tanggal 17 Juni 2015 saya mengunjungi Museum Fatahillah atau nama lainnya adalah Museum Sejarah Jakarta yang terletak di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Barat. Ini kunjungan saya yang ketiga kalinya ke Museum Fatahillah. Yang pertama dan kedua adalah beberapa tahun yang lalu (sudah lupa persisnya tahun berapa). Pada kunjungan ketiga ini ternyata tiket masuk ke Museum Fatahillah sudah naik menjadi Rp.5.000,- per orang (dulunya cuma Rp.2.000,- per orang). 
Nah! Karena museum baru selesai direnovasi, maka semua pengunjung Museum Fatahillah dipinjamkan sendal jepit oleh pihak Museum Fatahillah. Mulanya terasa aneh sekali ketika menyerahkan tiket masuk ke petugas museum lalu saya dan para pengunjung lainnya diberi sebuah bungkusan yang ternyata adalah sebuah tas kain yang dilipat dan ketika dibuka tasnya ternyata berisi sepasang sendal jepit. Rupanya pengunjung museum diharuskan mengganti sepatu atau sendal (yang dipakai dari rumah) dengan sendal jepit yang dipinjamkan oleh pihak museum. 
Setelah mendapatkan penjelasan dari pihak museum, barulah saya mengerti ternyata keharusan menggunakan sendal jepit itu dikarenakan museum baru direnovasi. Yah... mungkin supaya lantai-lantai museum tidak menjadi kotor oleh sepatu atau sendal para pengunjung sehingga semua pengunjung diharuskan mengganti alas kakinya dengan sendal jepit yang disediakan oleh pihak museum. Lagipula tangga utama menuju ke lantai dua terbuat dari kayu, begitu pula lantai dua museum yang lantainya juga dibuat dari kayu dan usia lantai kayu itu sudah ratusan tahun. Mungkin supaya lantai kayu tidak rusak maka para pengunjung museum dipinjamkan sendal jepit. 

Setelah saya mengganti sepatu saya dengan sendal jepit warna orange pinjaman dari Museum Fatahillah, mulailah saya menelusuri ruang demi ruang yang ada di dalam Museum Fatahillah. Pada jaman penjajahan Belanda dulu gedung ini berfungsi sebagai Gedung Balai Kota (Stadhuis) yang didirikan antara tahun 1707-1710. Selain digunakan sebagai kantor pemerintahan, Stadhuis juga berfungsi sebagai gedung pengadilan, tempat pertemuan, bahkan sebagai penjara juga. Di gedung ini ada penjara bawah tanah yang terletak di bagian belakang gedung. 
Pada jaman penjajahan Belanda bagian depan gedung Stadhuis ini sering digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman kepada para tahanan. Hukuman pada masa itu bisa berupa penyiksaan di tempat umum dengan disaksikan oleh masyarakat, bisa juga hukuman berat berupa hukuman mati yang juga dilaksanakan di tempat terbuka sehingga menjadi tontonan bagi masyarakat di Batavia kala itu. Salah satu kisah nyata yang pernah terjadi di kota Batavia pada tahun 1629 adalah kisah asmara antara Sara Specx dengan Pieter Cortenhoeff yang berakhir tragis dengan dijatuhi hukuman mati terhadap keduanya. Sara Specx adalah anak perempuan Jacques Specx dari gundiknya yang orang Jepang, jadi Sara Specx ini berdarah campuran Eropa dan Asia. Pada suatu ketika ayah Sara Specx ada urusan di negeri Belanda sehingga untuk sementara waktu Sara Specx dititipkan di rumah Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Batavia. Pada waktu itu ada salah seorang penjaga kastil Batavia yang masih berusia muda dan berpenampilan menarik yang bernama Pieter Cortenhoeff. Sara Specx pun tertarik dengan prajurit muda ini dan keduanya pun menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. Keduanya masih berusia remaja dan ada perbedaan status dimana Sara Specx adalah anak dari keluarga terpandang di Batavia, sedangkan Pieter Cortenhoeff hanya seorang prajurit rendahan penjaga kastil Batavia. Pada waktu itu Sara Specx baru berusia 12 tahun, sedangkan Pieter Cortenhoeff berusia 15 tahun. Hubungan mereka diketahui oleh anak buah JP Coen yang kemudian melaporkannya kepada JP Coen. Setelah diselidiki akhirnya mengakulah kedua remaja itu, sehingga membuat berang JP Coen. Pada masa itu hukuman untuk perzinahan adalah hukuman mati. Tetapi karena Sara Specx adalah anak dari salah seorang petinggi di Batavia, maka dia bisa mendapatkan keringanan hukuman. Sara Specx tidak dihukum mati, tetapi hanya dihukum cambuk. Sedangkan Pieter Cortenhoeff tidak seberuntung Sara Specx. Pieter Cortenhoeff hanya seorang prajurit rendahan dan tidak memiliki koneksi dengan pejabat tinggi kota Batavia, sehingga nyawanya pun tak dapat diselamatkan. Pieter Cortenhoeff pun dihukum mati di depan gedung Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah). Sedangkan Sara Specx di kemudian hari menikah dengan seorang misionaris dan ketika suaminya bertugas ke Formosa (Taiwan) Sara Specx pun diboyong ke Formosa. Sara Specx menetap di Formosa dan tidak pernah kembali lagi ke Batavia hingga meninggal dunia di Formosa pada tahun 1636 saat baru berusia 19 tahun. Sara Specx meninggal dunia dengan status sebagai seorang wanita terhormat di Formosa.
 


Foto diatas adalah foto lantai di bagian dalam Museum Fatahillah. Lantainya nampak sangat kuno sekali. Ini terdapat di lantai satu museum. Sedangkan kalau di lantai dua, lantainya dibuat dari papan kayu. 



Salah satu koleksi Museum Fatahillah adalah sebuah batu berukir telapak kaki Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara dengan tulisan huruf Pallawa. Sekarang batu ini disimpan di salah satu ruang museum di lantai satu. 



Di lantai dua museum ruangan-ruangannya lebih besar dan pencahayaannya lebih baik daripada di ruangan tempat penyimpanan batu-batu prasasti di lantai satu. Di salah satu ruangan di lantai dua yang merupakan ruang utama karena ukuran ruangannya paling luas, terdapat seperangkat perabotan kayu dengan desain ukiran yang menarik. Ada satu set meja kayu beserta enam buah kursi kayu yang ditata rapi disekeliling meja. Sedangkan di sisi lain ruangan itu terdapat lemari kayu dengan desain yang sangat artistik sekali. Bagian atas dan samping kiri-kanan lemari dihias dengan ukiran berwarna keemasan dan pada bagian ujung atas lemari terdapat patung berukuran kecil. 



Foto diatas adalah maket sebuah bangunan yang dahulu pernah terdapat di kota Batavia. Sepintas maket bangunan itu mirip dengan bentuk mesjid karena memiliki atap berbentuk kubah. Tetapi sebenarnya bangunan itu adalah sebuah gereja yang bernama De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda) yang dahulu terletak di lokasi yang kini menjadi Museum Wayang. Jadi sebelum berdirinya bangunan yang sekarang menjadi Museum Wayang, dulunya di tempat yang sama pernah berdiri sebuah bangunan gereja. De Nieuwe Hollandsche Kerk didirikan untuk menggantikan De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda). Karena Gereja Lama Belanda telah rusak dimakan waktu, lalu dibangunlah Gereja Baru Belanda di lokasi bekas Gereja Lama Belanda. Nah! Foto diatas adalah maket dari bangunan Gereja Baru Belanda. Bangunan aslinya sendiri sudah tidak ada lagi karena sudah rusak akibat gempa bumi tahun 1808. Oleh karena tidak ada dana untuk memperbaiki kerusakan bangunan gereja, lalu gereja rusak itu pun dijual. Kemudian oleh pemiliknya yang baru dibangunlah gedung baru untuk kegiatan bisnis. Setelah berganti kepemilikan beberapa kali, barulah setelah beberapa puluh tahun Indonesia merdeka gedung digunakan sebagai Museum Wayang. Jadi tentu saja gedung Museum Wayang bentuknya sangat berbeda jauh dengan maket bangunan pada foto di atas, karena bangunan asli De Nieuwe Hollandsche Kerk sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanya maket yang ada di foto itu saja serta lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan bentuk bangunan De Nieuwe Hollandsche Kerk. 





Dua foto di atas adalah bagian belakang gedung Museum Fatahillah. Nampak sekali kemegahan bangunan ini di masa lalu. Bahkan hingga jaman sekarang pun masih tetap dapat dinikmati sisa-sisa kemegahan dari bangunan tua ini. 
Pada halaman belakang Museum Fatahillah terdapat sebuah patung bergaya Eropa, itulah patung dewa Hermes dalam mitologi Yunani (atau disebut dewa Mercurius dalam mitologi Romawi). Patung dewa Hermes ini adalah patung asli yang dulunya terletak di jembatan Harmoni. Patung ini sudah ada di jembatan Harmoni sejak jaman penjajahan Belanda. Tetapi pada sekitar tahun 1999 atau 2000 patung dipindahkan ke Museum Fatahillah. Ini untuk melindungi patung agar tidak rusak ataupun dicuri orang. Sedangkan sebagai penggantinya telah dibuatkan replika dari patung ini yang kemudian diletakkan di lokasi tempat asal patung aslinya berada yaitu di atas jembatan Harmoni. Jadi kalau suatu hari nanti anda melintasi jembatan Harmoni dan melihat ada patung seperti pada foto di atas, berarti yang anda lihat adalah patung replika atau tiruannya saja, sedangkan patung aslinya sudah dipindahkan ke Museum Fatahillah, tepatnya berada di halaman belakang museum. 

Selain terdapat patung dewa Hermes, di halaman belakang museum juga terdapat benda-benda bersejarah lainnya, diantaranya adalah terdapat sebuah meriam yang namanya sudah sangat terkenal, yaitu Meriam Si Jagur. Meriam ini diletakkan di salah satu sudut halaman belakang museum. Saya tidak memotret Meriam Si Jagur karena pada saat itu di dekat Meriam Si Jagur ada sekelompok pengunjung sedang duduk-duduk beristirahat. Jadi kalau anda ingin tahu seperti apakah bentuk Meriam Si Jagur itu bisa anda cari sendiri foto-fotonya di Google ^_^

Di sisi kiri halaman belakang museum terdapat replika prasasti peringatan Pieter Erbervelt. Siapakah Pieter Erbervelt ini? Dia adalah seorang pengusaha dan tuan tanah keturunan bangsa Jerman yang tinggal di Batavia. Pieter Erbervelt berteman akrab dengan Raden Kartadria dan mendukung perjuangan kaum pribumi kala itu. Lalu ada desas-desus bahwa Pieter Erbervelt dan Raden Kartadria akan melakukan pemberontakkan melawan VOC. Maka keduanya pun ditangkap dan diadili, lalu dijatuhi vonis hukuman mati bagi kedua orang ini. Pieter Erbervelt dihukum mati dengan ditarik badannya oleh kuda yang dipacu ke empat arah yang berlawanan sehingga tubuh Pieter Erbervelt menjadi hancur. Peristiwa itulah yang menjadi cikal bakal nama jalan Pecah Kulit di Jakarta. Kemudian kepala Pieter Erbervelt ditancapkan di sebuah prasasti yang didirikan di atas tanah bekas rumah Pieter Erbervelt. Prasasti itu berisi larangan untuk mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. Namun sayangnya prasasti yang asli sudah dihancurkan oleh tentara Jepang ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Yang ada di Museum Fatahillah hanya prasasti tiruannya saja. Sekarang di atas tanah bekas rumah Pieter Erbervelt itu telah berdiri sebuah show room mobil yang terletak di jalan Pangeran Jayakarta. 
Foto di bawah ini adalah foto prasasti Pieter Erbervelt yang terdapat di halaman belakang Museum Fatahillah. 



Nah! Kalau foto berikut ini adalah foto sebuah lukisan yang menggambarkan sosok seorang Gubernur Jenderal VOC yang namanya sudah sangat terkenal sekali. Gubernur Jenderal itu adalah Jan Pieterszoon Coen (JP Coen). Lukisan antik ini disimpan di salah satu ruangan di lantai dua museum. 



Selain lukisan di atas, masih ada lagi lukisan lain yang ukuran lukisannya jauh lebih besar daripada lukisan JP Coen tadi. Lukisan yang ukurannya lebih besar itu menggambarkan sosok seorang Gubernur Jenderal VOC yang bernama Petrus Albertus van der Parra (P.A van der Parra). Lukisan van der Parra itu tergantung di salah satu dinding di lantai dua museum. Tetapi karena lukisan van der Parra itu tergantung diantara dua buah jendela, sehingga hasil fotonya kurang jelas karena silau oleh cahaya matahari yang masuk lewat jendela di kiri dan kanan lukisan. 



Pada kunjungan ketiga ke museum ini saya hanya melihat dua lukisan tadi (lukisan JP Coen dan lukisan van der Parra). Dulu saat kunjungan pertama dan kedua saya melihat ada lukisan Tuan dan Nyonya De Witt. Mereka adalah sepasang suami isteri yang hidup di abad ke-19 di kota Batavia. Mereka adalah suami isteri yang kaya raya dan bersifat dermawan. Mereka suka memberi uang kepada para fakir miskin, sehingga nama De Witt menjadi populer di kalangan orang-orang miskin. Dari nama De Witt inilah muncul istilah duwit atau duit yang artinya adalah uang. Mungkin karena lidah orang Betawi kala itu sulit untuk mengucapkan nama De Witt, sehingga yang terucap adalah--duwit atau duit. 

Itulah sekelumit cerita tentang Museum Fatahillah dan beberapa koleksinya yang terdapat disana. 
Dari tiga kali kunjungan saya ke Museum Fatahillah, ada satu hal yang sangat mengganggu kenyamanan pengunjung, yaitu tingkah laku dari para pengunjung berusia remaja dan anak-anak. Mereka datang ke museum bukan untuk belajar sejarah, tetapi sekedar untuk berfoto-foto. Kalau cuma berfoto-foto saja tidak terlalu mengganggu kenyamanan pengunjung yang lain, tetapi para remaja dan anak-anak ini sangat berisik sekali. Mereka melangkahkan kaki mereka dengan menimbulkan bunyi gedebak-gedebuk di  tangga utama yang menuju ke lantai dua. Saya khawatir ulah mereka dapat merusak tangga itu yang terbuat dari kayu dan sudah berusia tua. Di lantai dua pun mereka berisik sekali, berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Terkadang ada pula yang dorong-dorongan dengan teman-temannya. Padahal di lantai dua banyak tersimpan benda-benda bersejarah. Jangan sampai benda-benda bersejarah itu menjadi rusak oleh tingkah laku pengunjung yang terkesan ugal-ugalan. Saya perhatikan tidak ada dari mereka yang tertarik mengamati koleksi museum, mereka hanya melihat sepintas lalu saja terhadap koleksi museum. Bahkan kebanyakan tidak peduli sama sekali dengan koleksi museum, mereka hanya menjadikan benda-benda koleksi museum sebagai latar belakang untuk berfoto bersama ataupun berfoto sendiri. Tingkah laku para remaja dan anak-anak itu sangat memalukan sekali jika dilihat oleh turis-turis asing yang berkunjung ke museum. 
Demikianlah kesan-kesan saya setelah berkunjung ke Museum Fatahillah. 

4 comments:

  1. di museum fatahillah boleh bawa kamera dslr ga ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah! Saya tidak tahu boleh atau tidak bawa kamera DSLR, soalnya kebanyakan orang pada pakai kamera hp buat berfoto-foto disana.

      Delete

Silakan berkomentar yang relevan dan bukan komentar spam :)